Unordered List


Breaking News

Sunday, 27 December 2015

Tim Ekspedisi Indonesia Biru Mampir ke STAIN Jurai Siwo Metro

Mereka, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Parta, sedang tur mereka keliling Indonesia. Membawa nama Ekspedisi Indonesia Biru, videografer dan fotografer ini mengendarai sepeda motor berkeliling Indonesia.
Ini adalah hal yang luar biasa karena uang yang dikeluarkan untuk pembuatan film dokumenter adalah uang pribadi dari kak Dandhy Dwi Laksono yang beliau tabung.

Kemarin Tanggal 26 Desember 2015 Mereka menyempatkan diri untuk mampir ke kota Metro dan Alhamdulilah beliau mengisi seminar yang diadakan di GSG STAIN Jurai Siwo Metro “Melihat Indonesia Bersama Tim Ekspedisi Indonesia Biru”. Sehingga saya bisa melihat sosok orang yang sangat luar biasa tersebut langsung dengan mata kepala saya.
Dalam acara tersebut kami disugukan film-film yang sangat luar biasa, karena banyak mengandung pesan moral didalamnya..

Salah satu film yang di putar adalah “KESEPUHAN CIPTAGELAR”
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan /ka/ dan akhiran /an/. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti \\\'kolot\\\' atau \\\'tua\\\' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model \\\'sistem kepemimpinan\\\' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti \\\'adat kebiasaan tua\\\' atau \\\'adat kebiasaan nenek moyang\\\'. Menurut Anis Djatisunda (1984), nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pangawinan.

Pada era 1960-an, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar mempunyai nama khusus yang dapat dianggap sebagai nama asli masyarakat tersebut, yaitu Perbu. Nama Perbu kemudian hilang dan berganti menjadi kasepuhan atau kasatuan. Selain its I, mereka pun disebut dengan istilah masyarakat tradisi.

Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar (selanjutnya ditulis Kampung Ciptagelar) merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa. Artinya sejak tahun 2001, sekitar bulan Juli, Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan "hijrah wangsit" ke Desa Sirnaresmi yang berjarak belasan kilometer. Di desa inilah, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom atau Bapa Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Ciptagelar artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena "perintah leluhur" yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah perpindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya. Masyarakat atau warga Kampung Ciptagelar sebenarnya tidak terbatas di kampung tesebut saja tetapi bermukim secara tersebar di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Namun demikian sebagai tempat rujukannya, "pusat pemerintahannya" adalah Kampung Gede, yang dihuni oleh Sesepuh Girang (pemimpin adat), Baris Kolot (para pembantu Sesepuh Girang) dan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang ingin tinggal sekampung dengan pemimpin adatnya. Kampung Gede adalah sebuah kampung adat karena eksistensinya masih dilingkupi oleh tradisi atau aturan adat warisan leluhur.
Usai nobar dan diskusi KASEPUHAN CIPTAGELAR di kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di kota Metro, Lampung.

Ini Videonya monggo di play "KASEPUHAN CIPTAGELAR"

No comments:

Post a Comment

Designed By