Unordered List


Breaking News

Friday 8 January 2016

Fiqh Muamalah Semester III



Nama               : Eko Riyanto
NPM               : 141261510
Prodi               : S1-PBS (A)
Mata Kuliah    : Fiqh Muamalah
 Soal :
Jika saudara faham Fiqh Muamalah berarti saudara harus paham tentang pola sistem dan cara bekerjanya yang tidak hanya sekedar mampu membaca buku fiqh, goggling dan sebagainya, coba anda pahami dan jelaskan hal-hal berikut ini :

1. Coba uraikan oleh saudara yang disebut dengan Istishna parallel dan Bagaimana tinjauan ekonomi Islam atas praktik jual beli/ pembiayaan Istishna di Bank Syariah?

2. Setelah anda mempelajari materi-materi fiqh Muamalah, coba saudara jelaskan tinjauan ekonomi Islam terhadap dana talangan Haji Sebagai mana kita ketahui terdapat fenomena masyarakat yang ingin berhaji dengan menggunakan dana talangan haji. Dana talangan haji adalah dana yang dipinjamkan oleh pihak bank kepada masyarakat calon jamaah haji untuk mendapatkan porsi haji.
 
3. Bagaimana hukumnya jasa penukaran uang (valas versus rupiah) yang dijalankan Bank/ Money Changer, di mana mereka menukar (beli) mata uang asing dengan rupiah tertentu lalu menukar (jual) mata uang asing tersebut dengan rupiah tertentu yang lebih tinggi? 
 
4. Ulama berbeda pendapat tentang Pemanfaatan barang gadai. saudara jelaskan pandangan ulama dari kalangan mazhab empat yaitu Hanafiyah, Syafi'iyah, Malikiyah dan Hanbaliyah terhadap pemanfaatan barang gadai. Dan jelaskan aplikasi Rahn dalam lembaga keuangan Syari'ah lengkapii dengan contoh dan Skema. 

5. jelaskan jenis-jenis kafalah dan Implementasi Kafalah dalam lembaga keuangan syariah lengkapi dengan contoh dan skerna.
 


Jawab:
      1. IstishnaParalel adalah sebuah bentuk akad Istishna’ antara nasabah dan bank syariah, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, bank syariah memerlukan pihak lain sebagai Shani’.
Istishna’ parallel dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1)      Bank sebagai penjual dalam akad istishna’ dapat membuat akad istishna’ paralel dengan pihak lainnya dengan Bank bertindak sebagai pembeli;
2)      kewajiban dan hak dalam kedua akad istishna’ tersebut harus terpisah;
3)      pelaksanaan kewajiban salah satu akad Istishna’ tidak boleh tergantung pada akad istishna’ paralel atau sebaliknya;
4)      Jika bank yang bertindak sebagai pembeli dalam akad istishna’ paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam akad istishna’ tidak memenuhi akad istishna’;
5)      Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan secara proporsional
Dari tinjauan ekonomi Islam atas praktik jual beli atau pembiayaan istishna di Bank Syariah Istishna’ yaitu akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak. Definisi ini jelas menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan syariah merupakan pembiayaan istishna sehingga tidak dikenakan PPN.
Pada pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa : dalam pelaksanaan transaksi istishna, perusahaan pembiayaan dapat bertindak sebagai pembeli untuk memesan kepada prudusen  sebagai pembuat untuk menyediakan objek istishna dengan akad istishna. Transaksi ini termasuk golongan transaksi jual, sehingga harus dikenakan PPN.
Penjabaran di atas menunjukkan bahwa peraturan tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan perusahaan pembiayaan syariah, transaksi syariah seperti transaksi jual beli, transaksi sewa menyewa. Setiap kegiatan, baik dalam bentuk pembiayaan syariah atau transaksi syariah, akan memberikan implikasi pajak yang berbeda pula. Kegiatan yang tergolong pembiayaan syariah, tidak dikenakan PPN, sedangkan kegiatan yang tergolong transaksi syariah, dikenakan PPN.





2.  Program Dana Talangan Haji yang digulirkan oleh lembaga-lembaga Keuangan Syariah selama ini menimbulkan banyak problematika di masyarakat, diantaranya bahwa masyarakat yang sebenarnya belum mampu secara financial untuk melaksanakan ibadah haji, didorong untuk mampu walaupun harus meminjam uang ke bank, dan ini berdampak kepada penuhnya kuota jama’ah haji.
Dewan Syariah Nasional (DSN) di satu pihak yang tegas-tegas menghalalkan dana talangan haji lewat fatwanya No.29 Tahun 2002. Dalam fatwanya itu, DSN membolehkan dana talangan haji karena dianggap sebagai ujrah atau upah atas jasa menalangi biaya haji.
Namun di pihak lain ada banyak suara keberatan dari para ulama yang kurang setuju dengan fatwa DSN ini. Sebab apa yang disebut ujrah itu tidak lain hanya akal-akalan dan hilah saja. Karena fakta dana talangan haji adalah hutang-piutang (qardh), dimana LKS memberikan dana talangan (qardh) kepada calon jamaah haji, agar bisa mendapatkan nomer porsi haji. Dengan begitu, posisi calon jamaah haji jelas berhutang kepada LKS. Karena itu, di sana ditetapkan syarat, agar calon jamaah yang bersangkutan sudah harus melunasi hutangnya sebelum berangkat ke tanah suci. Ini membuktikan, bahwa akad dana talangan ini jelas merupakan akad hutang-piutang (qardh), bukan akad ijarah. Apalagi nilai nominalnya jelas dan bersifat fixed, dimana oleh para fuqaha’ disebut qardh, bukan dain, sehingga harus dibayar dengan nilai nominal yang sama, tidak boleh lebih.
Memang benar, bahwa LKS mempunyai jasa menghutangi calon jamaah Haji, tetapi jasa menghutangi di sini tidak bisa disamakan dengan jasa mengajar, mengobati pasien dan sebagainya. Karena motif akad hutang-piutang (qardh) adalah ta’awun (tolong-menolong), bukan bisnis. Fatwa yang menyatakan, bahwa jasa menghutangi berhak mendapatkan ujrah adalah pendapat yang aneh. Bahkan, ini bisa disebut hilah (akal-akalan) yang diharamkan dalam hadits Nabi. Karena manfaat dari hutang adalah riba, dan riba adalah haram.

3. Adapun tukar menukar uang antara mata uang yang berbeda, tidak termasuk hal yang diharamkan. Sebab keduanya adalah mata uang yang berbeda. Nilai masing-masing bisa saling berbeda dan setiap hari selalu berubah-ubah. Karena itu boleh dipertukarkan antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan, Jika penukaran uang dalam satu mata uang namun dengan nilai yang tidak sama adalah bagian dari riba. Meski pun bentuk fisiknya beda, tapi nilainya tetap sama. Misal uang pecahan lima puluh ribu jika mau di tukarkan dengan uang pecahan lima ribuan maka nilainya harus sama karena dalam tukar menukar uang dalam satu mata uang, tidak boleh ada perbedaan nilai
       
       4. Pendapat Ulama Syafi’iyah
Pendapat Imam Syafi’i tentang pengambilan manfaat dari hasil barang gadai oleh pemegang gadai, seperti yang disebutkan dalam kitab al-umm, beliau mengatakan: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada suatupun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai”
Bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan itu adalah orang yang menggadaikan barang tersebut dan dan bukan pemegang gadai. Meskipun yang mempunyai hak untuk mengambil manfaat dari barang jaminan itu orang yang menggadaikan, namun kekuasaan atas barang jaminan gadai itu ada di tangan si pemegang gadai.
 Ulama Syafi’iyah menambahkan, pemegang gadai tidak memiliki hak untuk memanfaatkan barang gadai, hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw riwayat asy-Syafi’I, Daruquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya
Menurut Imam Syafi’i bahwa pihak yang harus bertanggung jawab bila barang jaminan gadai rusak atau musnah adalah pihak yang menggadaikan, baik yang berhubungan dengan pemberian keperluan hidup atau yang berhubungan dengan penjagaan, karena dialah yang memiliki barang tersebut dan dia pula yang bertanggungjawab atas segala resiko yang menimpa barang tersebut, sebagaimana baginya pula manfaat yang dihasilkan dari barang gadai.

Pendapat Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah memperbolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadai jika diizinkan oleh orang yang menggadaikan atau disyaratkan ketika akad, dan barang gadai tersebut berupa barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.

Pendapat Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai, sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya., meskipun memperoleh izin dari dari orang yang menggadaikan barang, bahkan mengategorikannya sebagai riba. Dan menurut sebagian ulama Hanafiyah, barang gadai boleh untuk diambil manfaatnya oleh pemegang gadai apabila telah mendapat izin dari orang yang menggadaikan barang.

Pendapat Ulama Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah, jika barang gadai berupa hewan, pemegang gadai boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekadar mengganti biaya, meskipun tidak diizinkan oleh orang yang menggadaikan barang. Adapun barang gadai selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan, kecuali atas izin orang yang menggadaikan barang.

Aplikasi Rahn Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah
Akad rahn di lembaga keuangan syariah ada dua jenis yaitu : 
·         Akad Rahn sebagai Produk Turunan (Jaminan Pembiayaan)
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin).
·         Akad Rahn sebagai Produk Utama (Gadai Syariah).
Konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Contoh Rahn :
saya memiliki hutang kepada Aji sebesar 15 juta, sebagai jaminan atas pelunasan hutang saya, maka saya menyerahkan sebuah sepeda motor kepada Aji, setelah hutang saya bisa dilunasi maka saya baru dapat mengambil kembali motor saya.
Dalam konteks di Bank
saya menggadaikan emas ke Bank Syariah untuk meminjam uang sebesar 50 juta,dan melunasinya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan dalam akad, misal 2 tahun atau 3 tahun, setelah hutang lunas maka Bank Syariah akan mengembalikan Emas yang digadaikan oleh saya tadi.








5.         






    5. Jenis-Jenis Kafalah
·         Kafalah bin Nafs
Merupakan akad jaminan dari kafil untuk menghadirkan diri seseorang pada waktu tertentu di tempat tertentu.
Contohnya:
Perkataan seseorang, “Aku menjamin untuk menghadirkan si Bejo dalam acara tersebut”. Jika kafil tidak bisa menghadirkan, padahal ia masih hidup, maka kafil wajib membayar sejumlah denda.

·         Kafalah bil Mal
Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang.
Contohnya :
Saya mendapat pembiayaan syariah dengan jaminan seorang tokoh masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang jaminan apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.

·         Kafalah bit Taslim
Merupakan jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa sewa.
Contohnya:
Pihak bank mengeluarkan surat jaminan untuk nasabahnya tentang pengembalian barang sewa yang disewa nasabah kepada perusahaan leasing.

·         Kafalah Munjazah
Merupakan jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa adanya pembatasan waktu tertentu.
Contohnya: “Aku menjamin hutang anda sekarang”. Atau juga Bank menjamin nasabahnya kepada pihak ketiga bahwa nasabahnya pasti melaksanakan kewajibannya dalam mengerjakan suatu proyek.

·         Kafalah muqayyadah/muallaqah,
Merupakan jaminan atau kafalah yang dibatasi waktunya, sebulan, setahun dan sebagainya.
Contohnya:
Bank menjamin nasabahnya kepada pihak ketiga selama 3 bulan. Kafalah ini disebut juga kafalah dengan tawqit.
Aplikasi Kafalah dalam LKS
1. Kafalah bin-Nafs
Contoh aplikasi kafalah bin-Nafs, misalkan seorang nasabah yang mendapatkan pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun , tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang di biayai mengalami kesulitan.
2. Kafalah bit-Taslim
Jenis pemberian jaminan ini dapat di laksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
3. Kafalah al-Munjazah
pemberian jaminan dalam bentuk performance Bonds (jaminan prestasi), suatu hal yg lazim dikalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad ini.
4. Bank Garansi
Bank Garansi merupakan jaminan pembayaran yang di berikan oleh bank kepada suatu pihak, baik perorangan, perusahaan, badan, atau lembaga keuangan lainnya dalam bentuk surat jaminan. Garansi bank dapat di berikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.
8. Asuransi Syariah (takaful)
Perusahaan asuransi merupakan pihak penanggung atau penjamin, sedangkan peserta asuransi adalah pihak tertanggung atau yang di jamin. Sehingga dalam suatu asuransi terdapat perjanjian antar kedua belah pihak, dimana pihak yang terjamin di wajibkan membayar premi asuransi dalam masa tertentu, lalu pihak yang menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si terjamin.
Skema Kafalah

No comments:

Post a Comment

Designed By