Nama :
Eko Riyanto
NPM :
141261510
Prodi :
S1-PBS (A)
Mata
Kuliah : Fiqh Muamalah
Soal :
Jika saudara faham Fiqh
Muamalah berarti saudara harus paham tentang pola sistem dan cara bekerjanya
yang tidak hanya sekedar mampu membaca buku fiqh, goggling dan sebagainya, coba
anda pahami dan jelaskan hal-hal berikut ini :
1. Coba uraikan oleh
saudara yang disebut dengan Istishna parallel dan Bagaimana tinjauan ekonomi
Islam atas praktik jual beli/ pembiayaan Istishna di Bank Syariah?
2. Setelah anda
mempelajari materi-materi fiqh Muamalah, coba saudara jelaskan tinjauan ekonomi
Islam terhadap dana talangan Haji Sebagai mana kita ketahui terdapat fenomena
masyarakat yang ingin berhaji dengan menggunakan dana talangan haji. Dana
talangan haji adalah dana yang dipinjamkan oleh pihak bank kepada masyarakat
calon jamaah haji untuk mendapatkan porsi haji.
3. Bagaimana hukumnya jasa penukaran uang (valas versus rupiah) yang dijalankan Bank/ Money Changer, di mana mereka menukar (beli) mata uang asing dengan rupiah tertentu lalu menukar (jual) mata uang asing tersebut dengan rupiah tertentu yang lebih tinggi?
4. Ulama berbeda
pendapat tentang Pemanfaatan barang gadai. saudara jelaskan pandangan ulama
dari kalangan mazhab empat yaitu Hanafiyah, Syafi'iyah, Malikiyah dan
Hanbaliyah terhadap pemanfaatan barang gadai. Dan jelaskan aplikasi Rahn dalam
lembaga keuangan Syari'ah lengkapii dengan contoh dan Skema.
5. jelaskan jenis-jenis
kafalah dan Implementasi Kafalah dalam lembaga keuangan syariah lengkapi dengan
contoh dan skerna.
Jawab:
1. Istishna’
Paralel
adalah sebuah bentuk akad Istishna’ antara nasabah dan bank
syariah, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, bank syariah
memerlukan pihak lain sebagai Shani’.
Istishna’
parallel dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Bank
sebagai penjual dalam akad istishna’ dapat membuat akad istishna’
paralel dengan pihak lainnya dengan Bank bertindak sebagai pembeli;
2) kewajiban
dan hak dalam kedua akad istishna’ tersebut harus terpisah;
3) pelaksanaan
kewajiban salah satu akad Istishna’ tidak boleh tergantung pada akad istishna’
paralel atau sebaliknya;
4) Jika
bank yang bertindak sebagai pembeli dalam akad istishna’ paralel harus
memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam akad istishna’
tidak memenuhi akad istishna’;
5) Dalam
hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan secara proporsional
Dari tinjauan ekonomi Islam atas
praktik jual beli atau pembiayaan istishna di Bank Syariah Istishna’ yaitu akad pembiayaan
untuk pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih
dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak. Definisi ini
jelas menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan syariah
merupakan pembiayaan istishna sehingga tidak dikenakan PPN.
Pada pasal 44 ayat (1)
menyatakan bahwa : dalam pelaksanaan transaksi istishna, perusahaan pembiayaan
dapat bertindak sebagai pembeli untuk memesan kepada prudusen sebagai
pembuat untuk menyediakan objek istishna dengan akad istishna. Transaksi ini
termasuk golongan transaksi jual, sehingga harus dikenakan PPN.
Penjabaran di atas menunjukkan
bahwa peraturan tentang akad-akad yang digunakan dalam kegiatan perusahaan
pembiayaan syariah, transaksi syariah seperti transaksi jual beli, transaksi
sewa menyewa. Setiap kegiatan, baik dalam bentuk pembiayaan syariah atau
transaksi syariah, akan memberikan implikasi pajak yang berbeda pula. Kegiatan yang tergolong pembiayaan
syariah, tidak dikenakan PPN, sedangkan kegiatan yang tergolong
transaksi syariah, dikenakan PPN.
2. Program Dana Talangan Haji yang digulirkan oleh lembaga-lembaga Keuangan Syariah selama ini menimbulkan banyak problematika di masyarakat, diantaranya bahwa masyarakat yang sebenarnya belum mampu secara financial untuk melaksanakan ibadah haji, didorong untuk mampu walaupun harus meminjam uang ke bank, dan ini berdampak kepada penuhnya kuota jama’ah haji.
Dewan Syariah Nasional (DSN) di
satu pihak yang tegas-tegas menghalalkan dana talangan haji lewat fatwanya
No.29 Tahun 2002. Dalam fatwanya itu, DSN membolehkan dana talangan haji karena
dianggap sebagai ujrah atau upah atas jasa menalangi biaya haji.
Namun di pihak lain ada banyak
suara keberatan dari para ulama yang kurang setuju dengan fatwa DSN ini. Sebab
apa yang disebut ujrah itu tidak lain hanya akal-akalan dan hilah saja. Karena
fakta dana talangan haji
adalah hutang-piutang
(qardh), dimana LKS memberikan dana talangan (qardh) kepada
calon jamaah haji,
agar bisa mendapatkan nomer porsi haji.
Dengan begitu, posisi calon jamaah haji
jelas berhutang kepada LKS. Karena itu, di sana ditetapkan syarat, agar calon
jamaah yang bersangkutan sudah harus melunasi hutangnya sebelum berangkat ke
tanah suci. Ini membuktikan, bahwa akad dana talangan ini jelas merupakan akad hutang-piutang
(qardh), bukan akad ijarah. Apalagi nilai nominalnya jelas
dan bersifat fixed, dimana oleh para fuqaha’ disebut qardh,
bukan dain, sehingga harus dibayar dengan nilai nominal yang sama,
tidak boleh lebih.
Memang benar, bahwa LKS
mempunyai jasa menghutangi calon jamaah Haji,
tetapi jasa menghutangi di sini tidak bisa disamakan dengan jasa mengajar,
mengobati pasien dan sebagainya. Karena motif akad hutang-piutang
(qardh) adalah ta’awun (tolong-menolong), bukan bisnis. Fatwa
yang menyatakan, bahwa jasa menghutangi berhak mendapatkan ujrah
adalah pendapat yang aneh. Bahkan, ini bisa disebut hilah (akal-akalan)
yang diharamkan dalam hadits Nabi. Karena manfaat dari hutang
adalah riba, dan riba adalah haram.
4. Pendapat
Ulama Syafi’iyah
Pendapat Imam Syafi’i tentang
pengambilan manfaat dari hasil barang gadai oleh pemegang gadai, seperti yang
disebutkan dalam kitab al-umm, beliau mengatakan: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada
suatupun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai”
Bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan itu adalah
orang yang menggadaikan
barang tersebut dan dan bukan pemegang gadai. Meskipun yang mempunyai hak untuk mengambil manfaat dari barang jaminan itu orang
yang menggadaikan, namun kekuasaan atas barang jaminan gadai itu ada di tangan si pemegang gadai.
Ulama Syafi’iyah menambahkan,
pemegang gadai tidak memiliki hak untuk memanfaatkan barang gadai, hal ini
berdasarkan hadis Rasulullah Saw riwayat asy-Syafi’I, Daruquthni dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik
yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”
Menurut Imam Syafi’i bahwa pihak yang
harus bertanggung jawab bila barang jaminan gadai rusak atau musnah adalah
pihak yang menggadaikan,
baik yang berhubungan dengan pemberian keperluan hidup atau yang berhubungan
dengan penjagaan, karena dialah yang memiliki barang tersebut dan dia pula yang
bertanggungjawab atas segala resiko yang menimpa barang tersebut, sebagaimana
baginya pula manfaat yang dihasilkan dari barang gadai.
Pendapat Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah memperbolehkan
pemegang gadai memanfaatkan barang gadai jika diizinkan oleh orang yang
menggadaikan atau disyaratkan ketika akad, dan barang gadai tersebut berupa
barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.
Pendapat Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai, sebab dia hanya berhak
menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya., meskipun memperoleh izin dari
dari orang yang menggadaikan barang, bahkan mengategorikannya sebagai riba. Dan
menurut sebagian ulama Hanafiyah, barang gadai boleh untuk diambil manfaatnya
oleh pemegang gadai apabila telah mendapat izin dari orang yang menggadaikan
barang.
Dalam hal ini ulama Hanafiyah berpendapat, apabila barang gadai dibiarkan
tidak dimanfaatkan oleh pemegang gadai, maka berarti menghilangkan manfaat dari
barang tersebut. Kemudian jika setiap saat orang yang menggadaikan barang harus
datang kepada pemegang gadai untuk mengambil manfaat dari barang gadai, maka
akan mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak. Begitu juga sebaliknya,
apabila setiap waktu pemegang gadai harus memelihara dan menyerahkan manfaat
barang gadai kepada orang yang menggadaikan barang. Jadi, pemegang gadai boleh
memanfaatkan barang gadaian itu atas seizin pemiliknya. Sebab pemilik barang
itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya, termasuk pegadai
dapat mengambil manfaat dan tidak termasuk riba.
Pendapat Ulama Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah, jika barang gadai berupa hewan, pemegang gadai
boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekadar mengganti
biaya, meskipun tidak diizinkan oleh orang yang menggadaikan barang. Adapun barang gadai selain hewan, tidak boleh
dimanfaatkan, kecuali atas izin orang yang menggadaikan barang.
Aplikasi Rahn Dalam
Lembaga Keuangan Syari'ah
Akad rahn di lembaga keuangan syariah ada dua jenis yaitu :
·
Akad Rahn
sebagai Produk Turunan (Jaminan Pembiayaan)
Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta
agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin
kepada al-murtahin pada
saat dilangsungkan akad rahn tersebut.
Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu
termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik,
perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang
agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin).
·
Akad Rahn
sebagai Produk Utama (Gadai Syariah).
Konsep operasional pegadaian
syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas,
efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Contoh Rahn
:
saya memiliki hutang kepada Aji sebesar 15 juta,
sebagai jaminan atas pelunasan hutang saya, maka saya menyerahkan sebuah sepeda
motor kepada Aji, setelah hutang saya bisa dilunasi maka saya baru dapat
mengambil kembali motor saya.
Dalam konteks di Bank
saya menggadaikan emas ke Bank
Syariah untuk meminjam uang sebesar 50 juta,dan melunasinya sesuai jangka waktu
yang telah ditentukan dalam akad, misal 2 tahun atau 3 tahun, setelah hutang
lunas maka Bank Syariah akan mengembalikan Emas yang digadaikan oleh saya tadi.
5.
5. Jenis-Jenis Kafalah
·
Kafalah bin Nafs
Merupakan
akad jaminan dari kafil untuk menghadirkan diri seseorang pada waktu tertentu
di tempat tertentu.
Contohnya:
Perkataan
seseorang, “Aku menjamin untuk menghadirkan si Bejo dalam acara tersebut”. Jika
kafil tidak bisa menghadirkan, padahal ia masih hidup, maka kafil wajib
membayar sejumlah denda.
·
Kafalah bil Mal
Merupakan
jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang.
Contohnya :
Saya
mendapat pembiayaan syariah dengan jaminan seorang tokoh masyarakat. Walaupun
bank secara fisik tidak memegang barang jaminan apapun, tetapi bank berharap
tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami
kesulitan.
·
Kafalah bit Taslim
Merupakan
jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin penyerahan atas barang yang disewa
pada saat berakhirnya masa sewa.
Contohnya:
Pihak bank
mengeluarkan surat jaminan untuk nasabahnya tentang pengembalian barang sewa
yang disewa nasabah kepada perusahaan leasing.
·
Kafalah Munjazah
Merupakan
jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa adanya pembatasan waktu tertentu.
Contohnya:
“Aku menjamin hutang anda sekarang”. Atau juga Bank menjamin nasabahnya kepada
pihak ketiga bahwa nasabahnya pasti melaksanakan kewajibannya dalam mengerjakan
suatu proyek.
·
Kafalah muqayyadah/muallaqah,
Merupakan
jaminan atau kafalah yang dibatasi waktunya, sebulan, setahun dan sebagainya.
Contohnya:
Bank
menjamin nasabahnya kepada pihak ketiga selama 3 bulan. Kafalah ini disebut
juga kafalah dengan tawqit.
Aplikasi Kafalah dalam
LKS
1. Kafalah bin-Nafs
Contoh aplikasi kafalah
bin-Nafs, misalkan seorang nasabah yang mendapatkan pembiayaan dengan
jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank
secara fisik tidak memegang barang apapun , tetapi bank berharap tokoh tersebut
dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang di biayai mengalami
kesulitan.
2. Kafalah bit-Taslim
Jenis pemberian jaminan ini
dapat di laksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk
kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan
pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan
uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
3. Kafalah al-Munjazah
pemberian jaminan dalam bentuk performance Bonds
(jaminan prestasi), suatu hal yg lazim dikalangan perbankan dan hal ini sesuai
dengan bentuk akad ini.
4. Bank Garansi
Bank Garansi merupakan jaminan
pembayaran yang di berikan oleh bank kepada suatu pihak, baik perorangan,
perusahaan, badan, atau lembaga keuangan lainnya dalam bentuk surat jaminan. Garansi bank dapat di berikan dengan tujuan untuk
menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.
8. Asuransi Syariah (takaful)
Perusahaan asuransi merupakan
pihak penanggung atau penjamin, sedangkan peserta asuransi adalah pihak
tertanggung atau yang di jamin. Sehingga dalam suatu asuransi terdapat
perjanjian antar kedua belah pihak, dimana pihak yang terjamin di wajibkan
membayar premi asuransi dalam masa tertentu, lalu pihak yang menjamin akan
mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si terjamin.
Skema
Kafalah
No comments:
Post a Comment